Dual Desktop: PCLinuxOS 2010 & Ubuntu 10.04 Lucid Lynx
Banyak pilihan, adalah salah satu kelebihan dunia Linux yang dianggap ruwet oleh pengguna desktop non-Linux dan berbayar. Padahal di dalamnya ada semangat kemerdekaan dan kebebasan. Yang disebut GNU/Linux sebenarnya adalah kernel dari sebuah sistem operasi yang dimulai oleh Linus Torvalds dan sekarang dikembangkan bersama oleh sebuah komunitas terbesar pengembang di seluruh dunia. Ini adalah proyek sosial besar serius yang dikerjakan justru sebagian besar oleh partisan atau hobbyist. April 2010 ditandai oleh rilis dua linux distribusi (distro) favorit saya: PCLinuxOS 2010 dan Ubuntu 10.04 Lucid Lynx. Dua distro ini adalah dua dari sepuluh besar distro populer menurut distrowatch. Setiap orang punya alasan-alasannya sendiri kenapa memilih distro tertentu sebagai favoritnnya, demikian juga saya. Dan inilah alasan-alasan saya.
PCLinuxOS, Distro Solid untuk Desktop
PCLinuxOS adalah salah satu distro pioner yang penyebarannya menggunakan LiveCD yang awalnya diturunkan dari Mandrake (nama lama dari Mandriva sebel
um merger dengan Connectiva). Mandriva adalah salah satu distro populer yang kuat di desktop. Dari instalasi, manajemen paket sampai detil-detil pengaturan desktop, semuanya sudah berbasis grafis sejak versi-versi awalnya. Banyak driver sudah dimasukkan, sehingga bahkan perangkat-perangkat keras kelas low-end saya semuanya terdeteksi tanpa masalah.
Pesona Knoppix sebagai distribusi pionir berbasis LiveCD, membuat banyak pengembang berusaha menurunkan hal yang sama dengan cara yang dilakukan Knoppix dari Debian. Tapi Mandriva terlalu menarik untuk diabaikan, diturunkan ke bentuk LiveCD. Salah satu dari banyak pengembang itu adalah Texstar yang menurunkan PCLinuxOS dari Mandriva. Pengembang PCLinuxOS mengembangkan distro desktop baru yang luarbiasa menurut saya, karena menggabungkan banyak ide dari kelebihan distro-distro lain yang lebih tua, besar dan kuat seperti Mandriva dan Debian. Cara instalasi, pengaturan konfigurasi desktop dan paket-paket piranti lunaknya adalah cara Mandriva. Tak ada yang tak terjangkau, semua pengaturan konfigurasi sudah berbasis grafis, sehingga memudahkan bagi pemula untuk belajar menggunakan Linux tanpa perlu tahu perintah-perintah dasar Linux atau segala hal yang di nampak idealis tapi rumit itu.
Salah satu kelebihan PCLinuxOS yang belum pernah saya temukan lebih mudah di distro lain adalah kemampuannya untuk me-remaster dirinya sendiri. Remaster ini adalah kloning ulang iso dasar PCLinuxOS setelah diinstall di harddisk dan mungkin telah menglami perubahan paket. Saya menggunakannya untuk backup, karena remaster bisa mengikutkan sekalian seluruh data konfigurasi yang ada dalam haddisk. Karena mudahnya remaster ini, saya kira juga lahir banyak distro baru dari PCLinuxOS ini yang sebenarnya hanya kustomisasi dan perubahan minor saja dari PCLinuxOS, misal themes, jumlah paket terinstalasi atau konfigurasi tertentu. Layakkah disebut distro baru? Layak saja, tapi kurang pantas, sebab pada dasarnya tak membangun semua bahan-bahan dasar pembentuk distro: kernel dan kompilasi paket-paketnya.
Dengan PCLinuxOS, rasanya tak ada yang perlu dikuatirkan. Ketika menggunakan distro lain, sering kali saya mengalami pustaka-pustaka paket program tertentu yang terputus ketika di update, akibatnya saya harus mencari cara agar paket program tersebut berjalan dengan pustaka lama atau bahkan lebih buruk lagi, tak dapat menggunakannya. PCLinuxOS begitu kompak, sehingga apapun yang instalasinya saya ambil dari repository paket-paketnya, selalu terpadu dan tak pernah terpecah dari update salah satu pustaka-pustaka yang diperlukannya.
PCLinuxOS juga ramah pada komputer-komputer lama. Workstation atau notebook yang berumur diatas 5 tahun dengan RAM kurang dari 1 GB masih dapat menjalankannya dengan cukup baik. Untuk urusan ini, memang PCLinuxOS bukan satu-satunya distro yang ramah dan ringan. Tetapi dengan distribusi standar yang cukup gemuk, saya coba dengan berbagai notebook lama, tak menemukan kesulitan yang berarti. Segalanya lancar dari LiveCD, instalasi sampai penggunaan sehari-hari.
PCLinuxOS ini memang memusatkan distribusinya sebagai desktop. Jadi jika karena tertarik, kita ingin menggunakannya sebagai server, barangkali masih perlu kerja sedikit: dari pelangsingan module-module kernel yang dimuat waktu boot, pengurangan paket-paket yang bersifat desktop (semua aplikasi berbasis XWindow) dan penambahan paket-paket untuk server. Selanjutnya adalah menjadikannya server tertentu dengan paket-paket aplikasi tertentu, misal: Web Server, Database Server, DNS Server, Storage Server atau Server Appliance lainnya. Bisa? Ya, tapi saya tak suka mengambil resiko untuk menjadikannya demikian di server produksi saya.
Kekurangan lain adalah tidak adanya distribusi untuk mesin 64Bit. Jadi jika mesin kita menggunakan RAM lebih dari 4 GB, tidak akan terbaca penuh. Kelebihan mesin 64 Bit juga tidak tereksplorasi lebih jauh, karena tidak adanya kernel dan distribusi paket-paket aplikasi berbasis 64Bit. Pada jajaran desktop saja, mesin-mesin seri Intel Core2, semuanya sudah mendukung aplikasi 64Bit. Tetapi jika RAM lebih dari 4 GB, setidaknya masih ada yang bisa dilakukan untuk dapat mengenalinya secara penuh, yaitu dengan menggunakan kernel pae. Instalasika kernel pae (physical address extension) maka setidaknya RAM 4GB bisa dikenali dan dimanfaatkan secara penuh. Setidaknya notebook saya yang Core2 Solo dan RAM 4GB dapat dikenali dan dimanfaatkan secara optimal kemampuan hardwarenya, meski dengan arsitektur yang masih 32Bit, dengan menggunakan update kernel pae.
Meski PCLinuxOS lebih untuk distribusi desktop, tetapi tidak secara langsung menyertakan paket OpenOffice3.2 dalam iso standarnya, hanya menyediakan executable link Get OpenOffice untuk mengunduh sendiri OpenOffice dari repository. Saya sendiri pilih mengunduh OpenOffice3.2 sendiri dari mirror repository OpenOffice terdekat di Indonesia di sini.
Ubuntu, Keturunan Distro Besar dengan Dukungan yang Besar
Ubuntu diturunkan dari distro besar yang kuat dan tua: Debian. Debian bisa digolongkan sebagai binary-based distribution dibanding misalnya Gentoo yang source-based distribution. Debian termasuk distro yang sangat kaya repository-nya, dan stabil untuk server-server produksi. Instalasi dan konfigurasinya cepat dan relatif tidak rumit. Tetapi sebelum era Debian 4.0, Debian agak rumit untuk desktop. Perlu pengetahuan dasar yang cukup, perlu guru (pada saat saya belajar Debian, kata googling belum terlalu populer). Ubuntu-lah yang mengubahnya di ranah desktop.
Ubuntu mulanya memang difokuskan untuk distribusi desktop. Desktop Ubuntu ramah perangkat keras, artinya mengenal perangkat-perangkat keras apapun tanpa kesulitan berarti. Ubuntu mengambil Gnome sebagai desktop manager utama-nya. Saya mulanya adalah fans fanatik KDE, tetapi ketika KDE mengecewakan saya di seri 4.0, kebetulan saat saya berpaling ke Ubuntu, Gnome sudah terlihat begitu manis dan mudah. Aplikasinya tak kalah kaya dibanding KDE. Dan Ubuntu mewarisi kekayaan repository Debian. Bagi yang sudah paham dengan kestabilan Debian, Ubuntu adalah mainan baru yang menarik saja. Bagi yang baru mengenal Linux, Ubuntu layak dijadikan pembimbing di pintu masuk ke dunia Linux.
Berbeda dengan Debian yang sangat mementingkan kestabilan untuk merilis versi baru, Ubuntu mendisiplinkan diri untuk merilis versi baru tiap 6 bulan dan versi LTS (Long Term Support) setiap 2 tahun. Ubuntu didukung penuh oleh para pengembang komersial Canonical dan komunitas yang cepat sekali menjadi besar. Dalam waktu singkat, kurang dari 5 tahun, Ubuntu sudah bertengger di 10 besar distro populer distrowatch.com, selalu. Popularitas tak selalu berbanding lurus dengan kestabilan, tapi mendukung terbentukanya komunitas besar yang berguna bagi pengembangan lanjut dan lebih cepat. Umpan balik dari komunitas besar Ubuntu, menjadikan Ubuntu semakin mudah, karena makin banyak orang yang menulis pengalamannya menggunakan Ubuntu.
Pada hemat saya, Ubuntu adalah Debian yang sangat solid dan mudah digunakan sebagai desktop. Lantas jika Ubuntu kuat di desktop, apa untungnya untuk server? Bagi saya pribadi, ini soal mempermudah pemeliharaan saja. Di server saya sudah terbiasa di lingkungan Debian. Memilih Ubuntu kemudian adalah soal pragmatis saja, ketika organisasi saya menyeragamkan desktopnya dengan Ubuntu. Mengapa Ubuntu? Seperti saya katakan diatas, lagi-lagi soal pragmatis. Orang yang terbiasa di lingkngan Debian telah dipermudah dengan kehadiran Ubuntu desktop, ditambah dukungan komersial. Artinya, jika kita memiliki masalah, sebagaimana saya dulu sering bertemu masalah di Debian desktop, di Ubuntu jika tak kita temukan komunitas atau forum-forum yang pernah mengalami masalah kita, maka kita bisa membeli layanan dukungan dari Canonical.
Canonical sendiri adalah perusahaan yang didirikan Mark Shuttleworth, miyarder dari Afrika Selatan yang dulunya juga pengembang Debian dan melahirkan distro baru yang kuat dan punya dukungan komersial. Berbeda dengan Ubuntu, Debian benar-benar sistem operasi bebas, dan sangat ketat saat memasukkan paket-paket piranti lunak yang tidak bebas sepenuhnya. Ubuntu mengikuti folosofi dasar Debian, tetapi lebih ingin menjadi distro yang praktis dan mudah digunakan. Ubuntu termasuk desktop yang bisa dibanggakan dari dunia Linux untuk bersanding dengan sistem operasi desktop komersial: Windows dan OSX.
Dengan Ubuntu, semua yang serba command-line dari Debian, bisa di-gui-kan. Dari konfigurasi network, aplikasi, pengaturan dekstop, dan lain-lain menjadi serba mudah bagi pengguna baru. Tak terlalu banyak berguna bagi pengguna lama Debian, tapi karena popularitasnya, mirror repository Ubuntu tersedia di banyak sekali temapat. Di Indonesia saja, ada lebih dari 3 mirror. Bagi pengguna Debian, hampir tak pernah mencari-cari piranti lunak asing, lalu mengunduh source-code-nya dan mengkompilasinya sendiri. Hampir semua kebutuhan utama piranti lunak, sudah tersedia di repository-nya. Inilah yang juga terjadi di Ubuntu.
Berbeda dengan pengguna distro lain, yang dulu mengandalkan rilis dan berkeping-keping CD untuk instalasinya. Debian, hanya perlu mengandalkan satu CD instalasi saja, selanjutnya ambil piranti lunak yang kita butuhkan dari repository terdekat. Demikian pula dengan Ubuntu, tetapi pada Ubuntu masih ada tambahan lagi, yaitu bentuk distribusi desktop LiveCD. Barangkali ini terinspirasi dari Knoppix. Jadi bisa dicoba tanpa instalasi lebih dulu, jika suka dan sudah mantap, bisa diinstalasikan pada harddisk. Jika Knoppix terinstalasi berubah menjadi Debian, maka Ubuntu tetap Ubuntu dengan repository-nya sendiri.
Menyandingkan Ubuntu dan PCLinuxOS
Di ranah desktop linux, PCLinuxOS cukup sebanding dengan Ubuntu dari banyak sisi kemudahan, kekayaan repository dan soliditas paket-paket-nya. Ada saatnya dimana Ubuntu memerlukan PCLinuxOS, dan inilah kejadiannya. Untungnya saya sudah menghajar Moblin dengan PCLinuxOS, gara-gara saya tak yakin lagi dengan Moblin yang segera menjelma menjadi MeeGo, meskipun saya sudah mulai merasa nyaman di Moblin. Jadi pada Notebook saya ada Vista, PCLinuxOS dan Ubuntu Karmic. Ketika upgrade Ubuntu Karmic 9.10 ke Lucid 10.4, tiba-tiba modem 3G Huawei E220 tidak terdeteksi. Saya pun mencari informasi mengapa bisa begitu, dengan menggunakan PCLinuxOS yang langsung mengenal modem 3 Huawei E220 tersebut.
Pada Ubuntu Karmic Koala 9.10 semua perangkat keras di notebook saya bekerja langsung (work out of the box). Tapi ketika upgrade ke Ubuntu Lucid Lynx 10.4 modem 3G malah tidak terdeteksi langsung. Ternyata memang perlu sedikit trik. Yang saya sedikit sesalkan, mengapa trik mudah itu, perlu dilakukan. Kenapa tidak itu disertakan lebih dulu sebelum Lucid dirilis resmi, sehingga semua akan bisa bekerja langsung.
PCLinuxOS dan Ubuntu sama-sama distribusi berbasis binary. Manajemen paket-paket piranti lunak dan cara instalasinya serupa. PCLinuxOS mendapatkan inspirasi manajemen paketnya dari Debian, meskipun cara pemaketan piranti lunaknya menggunakan .rpm, bukan .deb ala Debian. Aplikasi manajemen paketnya sama-sama aptitude. Bagi yang sudah familiar dengan Debian, tak ada bedanya dengan di Ubuntu, dan tak beda pula dengan di PCLinuxOS. PCLinuxOS mengambil model Mandriva, maka beberapa struktur directory dan penataan file-file konfigurasinya mengikuti Mandriva.
PCLinuxOS distribusi utamanya berbasis KDE, sedang Ubuntu menggunakan Gnome. Meskipun ada PCLinuxOS berbasis Gnome sebagaimana ada Kubuntu (Ubuntu berbasis KDE), tetapi PCLinuxOS lebih di depan dan stabil KDE-nya. Ketika Kubuntu menggunakan KDE 4.1, PCLinuxOS masih menggunakan KDE 3.5, karena mempersoalkan kestabilan KDE 4.1. baru pada PCLinuxOS 2010, KDE yang digunakan adalah 4.4 yang dianggap pengembang PCLinuxOS sudah stabil dan kembali solid sebagaimana KDE 3.5.
Tekad Ubuntu untuk menjadikan startup hanya beberapa detik, rasanya tak tercapai. tapi sejak 9.10 Karmic, Ubuntu shutdown dalam waktu kurang dari 5 detik. Dan setelah upgrade ke Lucid, saya hitung shutdown time, hanya perlu 3 detik dari sejak kita klik tombol shutdown. PClinuxOS masih kurang berhasil di startup dan shutdown. Tapi saya puji pengembang PCLinuxOS yang memilih aplikasinya berdasar stabilitas dan popularitas, tidak macet di harus KDE, meskipun berbasis KDE. Misalnya Instant Messaging default adalah pidgin yang notabene keluarga Gnome daripada Kopete yang jelas-jelas keluarga KDE.
Ubuntu malah memilih Empathy, yang akhirnya juga tak saya gunakan, karena saya lebih pilih Pidgin yang sederhana meskipun hanya bisa instant messaging berbasis teks. Ubuntu dan Kubuntu menggunakan NetworkManager sementara PCLinuxOS menggunakan Network Center-nya sendiri. Dan kali ini PCLinuxOS lebih unggul dari sisi kemudahan. Pada akhirnya sebenarnya dari sisi kemudahan PCLinuxOS lebih unggul dibanding Ubuntu
Meski begitu Ubuntu adalah distribusi yang solid dan bisa dijadikan apa saja dengan mudah dengan kekayaan repository-nya. Ubuntu bisa dikustomisasi menjadi server appliance apapun dengan mudah. hampir semua kebutuhan umum ada di repositorinya. Maka saya pun memilih Ubuntu untuk server-server saya: Database, Mail, Storage, NAS/SAN, LDAP, DNS, Web Appliance, SMS Gateway, Router, Web Proxy dan masih banyak lagi. Kita tak harus memilih Ubuntu yang mana untuk menjadikan semua diatas, bisa dimulai dari mana saja, selanjutnya semua diambil dari jaringan.
Barangkali dengan alasan sentimentil saja, saya masih menggunakan PCLinuxOS. Sebab memang soal remaster PCLinuxOS, tak ada distro lain yang mudah menandinginya. Kemudahan PCLinuxOS di remaster telah melahirkan versi-versi lain distribusi PCLinuxOS: Gnome, LXDE, Openbox dan Fluxbox. Sementara melakukannya di Ubuntu perlu sedikit berkeringat. Jadi jika butuh sesuatu instan, saya pilih melakukannya dari PCLinuxOS, tapi jika butuh server-server dengan kebutuhan khusus, Ubuntu lebih tepat dan hampir selalu tersedia di repository-nya. Jawabannya: tergantung yang kita butuhkan.
PCLinuxOS adalah salah satu distro pioner yang penyebarannya menggunakan LiveCD yang awalnya diturunkan dari Mandrake (nama lama dari Mandriva sebel
um merger dengan Connectiva). Mandriva adalah salah satu distro populer yang kuat di desktop. Dari instalasi, manajemen paket sampai detil-detil pengaturan desktop, semuanya sudah berbasis grafis sejak versi-versi awalnya. Banyak driver sudah dimasukkan, sehingga bahkan perangkat-perangkat keras kelas low-end saya semuanya terdeteksi tanpa masalah.
Pesona Knoppix sebagai distribusi pionir berbasis LiveCD, membuat banyak pengembang berusaha menurunkan hal yang sama dengan cara yang dilakukan Knoppix dari Debian. Tapi Mandriva terlalu menarik untuk diabaikan, diturunkan ke bentuk LiveCD. Salah satu dari banyak pengembang itu adalah Texstar yang menurunkan PCLinuxOS dari Mandriva. Pengembang PCLinuxOS mengembangkan distro desktop baru yang luarbiasa menurut saya, karena menggabungkan banyak ide dari kelebihan distro-distro lain yang lebih tua, besar dan kuat seperti Mandriva dan Debian. Cara instalasi, pengaturan konfigurasi desktop dan paket-paket piranti lunaknya adalah cara Mandriva. Tak ada yang tak terjangkau, semua pengaturan konfigurasi sudah berbasis grafis, sehingga memudahkan bagi pemula untuk belajar menggunakan Linux tanpa perlu tahu perintah-perintah dasar Linux atau segala hal yang di nampak idealis tapi rumit itu.
Salah satu kelebihan PCLinuxOS yang belum pernah saya temukan lebih mudah di distro lain adalah kemampuannya untuk me-remaster dirinya sendiri. Remaster ini adalah kloning ulang iso dasar PCLinuxOS setelah diinstall di harddisk dan mungkin telah menglami perubahan paket. Saya menggunakannya untuk backup, karena remaster bisa mengikutkan sekalian seluruh data konfigurasi yang ada dalam haddisk. Karena mudahnya remaster ini, saya kira juga lahir banyak distro baru dari PCLinuxOS ini yang sebenarnya hanya kustomisasi dan perubahan minor saja dari PCLinuxOS, misal themes, jumlah paket terinstalasi atau konfigurasi tertentu. Layakkah disebut distro baru? Layak saja, tapi kurang pantas, sebab pada dasarnya tak membangun semua bahan-bahan dasar pembentuk distro: kernel dan kompilasi paket-paketnya.
Dengan PCLinuxOS, rasanya tak ada yang perlu dikuatirkan. Ketika menggunakan distro lain, sering kali saya mengalami pustaka-pustaka paket program tertentu yang terputus ketika di update, akibatnya saya harus mencari cara agar paket program tersebut berjalan dengan pustaka lama atau bahkan lebih buruk lagi, tak dapat menggunakannya. PCLinuxOS begitu kompak, sehingga apapun yang instalasinya saya ambil dari repository paket-paketnya, selalu terpadu dan tak pernah terpecah dari update salah satu pustaka-pustaka yang diperlukannya.
PCLinuxOS juga ramah pada komputer-komputer lama. Workstation atau notebook yang berumur diatas 5 tahun dengan RAM kurang dari 1 GB masih dapat menjalankannya dengan cukup baik. Untuk urusan ini, memang PCLinuxOS bukan satu-satunya distro yang ramah dan ringan. Tetapi dengan distribusi standar yang cukup gemuk, saya coba dengan berbagai notebook lama, tak menemukan kesulitan yang berarti. Segalanya lancar dari LiveCD, instalasi sampai penggunaan sehari-hari.
PCLinuxOS ini memang memusatkan distribusinya sebagai desktop. Jadi jika karena tertarik, kita ingin menggunakannya sebagai server, barangkali masih perlu kerja sedikit: dari pelangsingan module-module kernel yang dimuat waktu boot, pengurangan paket-paket yang bersifat desktop (semua aplikasi berbasis XWindow) dan penambahan paket-paket untuk server. Selanjutnya adalah menjadikannya server tertentu dengan paket-paket aplikasi tertentu, misal: Web Server, Database Server, DNS Server, Storage Server atau Server Appliance lainnya. Bisa? Ya, tapi saya tak suka mengambil resiko untuk menjadikannya demikian di server produksi saya.
Kekurangan lain adalah tidak adanya distribusi untuk mesin 64Bit. Jadi jika mesin kita menggunakan RAM lebih dari 4 GB, tidak akan terbaca penuh. Kelebihan mesin 64 Bit juga tidak tereksplorasi lebih jauh, karena tidak adanya kernel dan distribusi paket-paket aplikasi berbasis 64Bit. Pada jajaran desktop saja, mesin-mesin seri Intel Core2, semuanya sudah mendukung aplikasi 64Bit. Tetapi jika RAM lebih dari 4 GB, setidaknya masih ada yang bisa dilakukan untuk dapat mengenalinya secara penuh, yaitu dengan menggunakan kernel pae. Instalasika kernel pae (physical address extension) maka setidaknya RAM 4GB bisa dikenali dan dimanfaatkan secara penuh. Setidaknya notebook saya yang Core2 Solo dan RAM 4GB dapat dikenali dan dimanfaatkan secara optimal kemampuan hardwarenya, meski dengan arsitektur yang masih 32Bit, dengan menggunakan update kernel pae.
Meski PCLinuxOS lebih untuk distribusi desktop, tetapi tidak secara langsung menyertakan paket OpenOffice3.2 dalam iso standarnya, hanya menyediakan executable link Get OpenOffice untuk mengunduh sendiri OpenOffice dari repository. Saya sendiri pilih mengunduh OpenOffice3.2 sendiri dari mirror repository OpenOffice terdekat di Indonesia di sini.
Ubuntu, Keturunan Distro Besar dengan Dukungan yang Besar
Ubuntu diturunkan dari distro besar yang kuat dan tua: Debian. Debian bisa digolongkan sebagai binary-based distribution dibanding misalnya Gentoo yang source-based distribution. Debian termasuk distro yang sangat kaya repository-nya, dan stabil untuk server-server produksi. Instalasi dan konfigurasinya cepat dan relatif tidak rumit. Tetapi sebelum era Debian 4.0, Debian agak rumit untuk desktop. Perlu pengetahuan dasar yang cukup, perlu guru (pada saat saya belajar Debian, kata googling belum terlalu populer). Ubuntu-lah yang mengubahnya di ranah desktop.
Ubuntu mulanya memang difokuskan untuk distribusi desktop. Desktop Ubuntu ramah perangkat keras, artinya mengenal perangkat-perangkat keras apapun tanpa kesulitan berarti. Ubuntu mengambil Gnome sebagai desktop manager utama-nya. Saya mulanya adalah fans fanatik KDE, tetapi ketika KDE mengecewakan saya di seri 4.0, kebetulan saat saya berpaling ke Ubuntu, Gnome sudah terlihat begitu manis dan mudah. Aplikasinya tak kalah kaya dibanding KDE. Dan Ubuntu mewarisi kekayaan repository Debian. Bagi yang sudah paham dengan kestabilan Debian, Ubuntu adalah mainan baru yang menarik saja. Bagi yang baru mengenal Linux, Ubuntu layak dijadikan pembimbing di pintu masuk ke dunia Linux.
Berbeda dengan Debian yang sangat mementingkan kestabilan untuk merilis versi baru, Ubuntu mendisiplinkan diri untuk merilis versi baru tiap 6 bulan dan versi LTS (Long Term Support) setiap 2 tahun. Ubuntu didukung penuh oleh para pengembang komersial Canonical dan komunitas yang cepat sekali menjadi besar. Dalam waktu singkat, kurang dari 5 tahun, Ubuntu sudah bertengger di 10 besar distro populer distrowatch.com, selalu. Popularitas tak selalu berbanding lurus dengan kestabilan, tapi mendukung terbentukanya komunitas besar yang berguna bagi pengembangan lanjut dan lebih cepat. Umpan balik dari komunitas besar Ubuntu, menjadikan Ubuntu semakin mudah, karena makin banyak orang yang menulis pengalamannya menggunakan Ubuntu.
Pada hemat saya, Ubuntu adalah Debian yang sangat solid dan mudah digunakan sebagai desktop. Lantas jika Ubuntu kuat di desktop, apa untungnya untuk server? Bagi saya pribadi, ini soal mempermudah pemeliharaan saja. Di server saya sudah terbiasa di lingkungan Debian. Memilih Ubuntu kemudian adalah soal pragmatis saja, ketika organisasi saya menyeragamkan desktopnya dengan Ubuntu. Mengapa Ubuntu? Seperti saya katakan diatas, lagi-lagi soal pragmatis. Orang yang terbiasa di lingkngan Debian telah dipermudah dengan kehadiran Ubuntu desktop, ditambah dukungan komersial. Artinya, jika kita memiliki masalah, sebagaimana saya dulu sering bertemu masalah di Debian desktop, di Ubuntu jika tak kita temukan komunitas atau forum-forum yang pernah mengalami masalah kita, maka kita bisa membeli layanan dukungan dari Canonical.
Canonical sendiri adalah perusahaan yang didirikan Mark Shuttleworth, miyarder dari Afrika Selatan yang dulunya juga pengembang Debian dan melahirkan distro baru yang kuat dan punya dukungan komersial. Berbeda dengan Ubuntu, Debian benar-benar sistem operasi bebas, dan sangat ketat saat memasukkan paket-paket piranti lunak yang tidak bebas sepenuhnya. Ubuntu mengikuti folosofi dasar Debian, tetapi lebih ingin menjadi distro yang praktis dan mudah digunakan. Ubuntu termasuk desktop yang bisa dibanggakan dari dunia Linux untuk bersanding dengan sistem operasi desktop komersial: Windows dan OSX.
Dengan Ubuntu, semua yang serba command-line dari Debian, bisa di-gui-kan. Dari konfigurasi network, aplikasi, pengaturan dekstop, dan lain-lain menjadi serba mudah bagi pengguna baru. Tak terlalu banyak berguna bagi pengguna lama Debian, tapi karena popularitasnya, mirror repository Ubuntu tersedia di banyak sekali temapat. Di Indonesia saja, ada lebih dari 3 mirror. Bagi pengguna Debian, hampir tak pernah mencari-cari piranti lunak asing, lalu mengunduh source-code-nya dan mengkompilasinya sendiri. Hampir semua kebutuhan utama piranti lunak, sudah tersedia di repository-nya. Inilah yang juga terjadi di Ubuntu.
Berbeda dengan pengguna distro lain, yang dulu mengandalkan rilis dan berkeping-keping CD untuk instalasinya. Debian, hanya perlu mengandalkan satu CD instalasi saja, selanjutnya ambil piranti lunak yang kita butuhkan dari repository terdekat. Demikian pula dengan Ubuntu, tetapi pada Ubuntu masih ada tambahan lagi, yaitu bentuk distribusi desktop LiveCD. Barangkali ini terinspirasi dari Knoppix. Jadi bisa dicoba tanpa instalasi lebih dulu, jika suka dan sudah mantap, bisa diinstalasikan pada harddisk. Jika Knoppix terinstalasi berubah menjadi Debian, maka Ubuntu tetap Ubuntu dengan repository-nya sendiri.
Menyandingkan Ubuntu dan PCLinuxOS
Di ranah desktop linux, PCLinuxOS cukup sebanding dengan Ubuntu dari banyak sisi kemudahan, kekayaan repository dan soliditas paket-paket-nya. Ada saatnya dimana Ubuntu memerlukan PCLinuxOS, dan inilah kejadiannya. Untungnya saya sudah menghajar Moblin dengan PCLinuxOS, gara-gara saya tak yakin lagi dengan Moblin yang segera menjelma menjadi MeeGo, meskipun saya sudah mulai merasa nyaman di Moblin. Jadi pada Notebook saya ada Vista, PCLinuxOS dan Ubuntu Karmic. Ketika upgrade Ubuntu Karmic 9.10 ke Lucid 10.4, tiba-tiba modem 3G Huawei E220 tidak terdeteksi. Saya pun mencari informasi mengapa bisa begitu, dengan menggunakan PCLinuxOS yang langsung mengenal modem 3 Huawei E220 tersebut.
Pada Ubuntu Karmic Koala 9.10 semua perangkat keras di notebook saya bekerja langsung (work out of the box). Tapi ketika upgrade ke Ubuntu Lucid Lynx 10.4 modem 3G malah tidak terdeteksi langsung. Ternyata memang perlu sedikit trik. Yang saya sedikit sesalkan, mengapa trik mudah itu, perlu dilakukan. Kenapa tidak itu disertakan lebih dulu sebelum Lucid dirilis resmi, sehingga semua akan bisa bekerja langsung.
PCLinuxOS dan Ubuntu sama-sama distribusi berbasis binary. Manajemen paket-paket piranti lunak dan cara instalasinya serupa. PCLinuxOS mendapatkan inspirasi manajemen paketnya dari Debian, meskipun cara pemaketan piranti lunaknya menggunakan .rpm, bukan .deb ala Debian. Aplikasi manajemen paketnya sama-sama aptitude. Bagi yang sudah familiar dengan Debian, tak ada bedanya dengan di Ubuntu, dan tak beda pula dengan di PCLinuxOS. PCLinuxOS mengambil model Mandriva, maka beberapa struktur directory dan penataan file-file konfigurasinya mengikuti Mandriva.
PCLinuxOS distribusi utamanya berbasis KDE, sedang Ubuntu menggunakan Gnome. Meskipun ada PCLinuxOS berbasis Gnome sebagaimana ada Kubuntu (Ubuntu berbasis KDE), tetapi PCLinuxOS lebih di depan dan stabil KDE-nya. Ketika Kubuntu menggunakan KDE 4.1, PCLinuxOS masih menggunakan KDE 3.5, karena mempersoalkan kestabilan KDE 4.1. baru pada PCLinuxOS 2010, KDE yang digunakan adalah 4.4 yang dianggap pengembang PCLinuxOS sudah stabil dan kembali solid sebagaimana KDE 3.5.
Tekad Ubuntu untuk menjadikan startup hanya beberapa detik, rasanya tak tercapai. tapi sejak 9.10 Karmic, Ubuntu shutdown dalam waktu kurang dari 5 detik. Dan setelah upgrade ke Lucid, saya hitung shutdown time, hanya perlu 3 detik dari sejak kita klik tombol shutdown. PClinuxOS masih kurang berhasil di startup dan shutdown. Tapi saya puji pengembang PCLinuxOS yang memilih aplikasinya berdasar stabilitas dan popularitas, tidak macet di harus KDE, meskipun berbasis KDE. Misalnya Instant Messaging default adalah pidgin yang notabene keluarga Gnome daripada Kopete yang jelas-jelas keluarga KDE.
Ubuntu malah memilih Empathy, yang akhirnya juga tak saya gunakan, karena saya lebih pilih Pidgin yang sederhana meskipun hanya bisa instant messaging berbasis teks. Ubuntu dan Kubuntu menggunakan NetworkManager sementara PCLinuxOS menggunakan Network Center-nya sendiri. Dan kali ini PCLinuxOS lebih unggul dari sisi kemudahan. Pada akhirnya sebenarnya dari sisi kemudahan PCLinuxOS lebih unggul dibanding Ubuntu
Meski begitu Ubuntu adalah distribusi yang solid dan bisa dijadikan apa saja dengan mudah dengan kekayaan repository-nya. Ubuntu bisa dikustomisasi menjadi server appliance apapun dengan mudah. hampir semua kebutuhan umum ada di repositorinya. Maka saya pun memilih Ubuntu untuk server-server saya: Database, Mail, Storage, NAS/SAN, LDAP, DNS, Web Appliance, SMS Gateway, Router, Web Proxy dan masih banyak lagi. Kita tak harus memilih Ubuntu yang mana untuk menjadikan semua diatas, bisa dimulai dari mana saja, selanjutnya semua diambil dari jaringan.
Barangkali dengan alasan sentimentil saja, saya masih menggunakan PCLinuxOS. Sebab memang soal remaster PCLinuxOS, tak ada distro lain yang mudah menandinginya. Kemudahan PCLinuxOS di remaster telah melahirkan versi-versi lain distribusi PCLinuxOS: Gnome, LXDE, Openbox dan Fluxbox. Sementara melakukannya di Ubuntu perlu sedikit berkeringat. Jadi jika butuh sesuatu instan, saya pilih melakukannya dari PCLinuxOS, tapi jika butuh server-server dengan kebutuhan khusus, Ubuntu lebih tepat dan hampir selalu tersedia di repository-nya. Jawabannya: tergantung yang kita butuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar