Saya sempat melihat sepintas berita televisi yang menyebutkan adanya perubahan arah kiblat di masjid-masjid yang terletak di Indonesia. Ada pula himbauan dari MUI agar umat Islam tidak perlu resah akan hal itu. Juga ada pernyataan dari Menteri Agama Suryadharma Ali bahwasanya perubahan arah kiblat tidak perlu dilakukan dengan pembongkaran masjid, melainkan cukup dengan pengaturan shaf saja. Kelihatannya, masalah ini memang krusial dan ‘gawat’, sehingga perlu-perlunya seorang menteri sampai berkomentar.
Karena penentuan arah kiblat juga terkait dengan kompas yang menunjuk ke kutub utara magnet bumi, maka tentu saja saya pun heran. Apa yang terjadi sehingga sepertinya terjadi pergeseran petunjuk arah yang mengarah ke kota suci Mekkah di Arab Saudi itu? Keheranan makin menjadi apalagi bila pikiran mengarah pada ramalan kiamat ala kalender suku Maya yang sempat difilmkan dengan judul tahun kejadian kiamat itu: 2012. Apa ada hubungannya?
Ternyata, berita itu bersumber dari keterangan Direktur Urusan Agama Islam Kementerian Agama Rohadi Abdul Fatah. Ia mengatakan, angka tersebut diperoleh dari hasil penelitian Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo yang menunjukkan adanya pergeseran arah kiblat dari ratusan ribu masjid tersebut. Menurut penelitian tersebut, sebanyak Sebanyak 320.000 atau 40 persen dari 800.000 jumlah masjid di seluruh Indonesia mengalami pergeseran arah kiblat. Konon, salah satu penyebabnya adalah bergesernya lempeng bumi dan musibah gempa bumi bertubi-tubi yang melanda Tanah Air. Sementara data Kementerian Agama hingga saat ini sebanyak 20 persen atau 160.000 masjid yang mengalami pergeseran arah kiblat. Yang agak membingungkan, berita itu dibantah Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaludin. Menurut Thomas, tidak ada data yang menyebut arah kiblat berubah, termasuk data dari satelit pun tidak ada. Klaim terjadinya perubahan karena pergeseran lempeng bumi juga tidak akan mengubah arah kiblat, kecuali telah berlangsung dalam waktu lama. (berita bisa dibaca di sini).
Bagi saya pribadi, sebenarnya kalau cuma masalah ketepatan presisi derajat geografis menghadap ke Ka’bah yang terletak di kota Mekkah, bukanlah sebuah hal yang perlu diperdebatkan. Ingat, di masa Nabi saja Islam telah menyebar ke hampir seluruh jazirah Arab. Di masa itu tidak ada alat ukur geografis canggih. Kompas dan sektan saja masih tradisional. Jadi, penentuan kiblat pun masih kira-kira. Demikian pula dengan penentuan arah kiblat berbagai masjid kuno, termasuk di Indonesia. Inilah barangkali yang kemudian menjadi penyebab munculnya statemen di atas. Jadi, sebenarnya bukan arah kiblatnya bergeser, tapi terjadi ketidak-tepatan atau kekurang-akuratan arah geografis kiblat di sejumlah masjid, terutama yang dibangun di abad pertengahan atau malah lebih awal lagi.
Karena makna literal kiblat dalam bahasa Arab adalah pemusatan perhatian. Awalnya, sebelum ada kiblat, umat Islam awal shalat menghadap ke mana saja. Jadi, di satu tempat yang sama, bisa ada yang menghadap ke timur, barat, atau arah lain sesuka mereka. Kemudian, ditetapkanlah kiblat mengarah ke Masjidil Aqsha di Yerusalem. Menurut hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah Muhammad SAW mengerjakan shalat berkiblat ke Al-Quds selama sekitar 16 atau 17 bulan semasa berada di Madinah. Dalam sejarah Islam, arah kiblat memang pernah diubah. Setelah semula mengarah ke Masjdil Aqsha (Al-Quds), kemudian turun firman ALLAH SWT untuk mengubah arah kiblat seperti diabadikan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 144:
Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan palingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram. …
Sejak saat itu, hingga kini, kiblat shalat umat Islam berubah ke Ka’bah. Hal ini dipercaya sama dengan kiblat yang telah pernah ditetapkan untuk Nabi Adam a.s. dan Nabi Ibrahim a.s.
Meski begitu, tidak pernah ada sebuah perintah yang menegaskan keharusan presisi secara geografis untuk menghadap kiblat ke Ka’bah di Mekkah. Karena jumhur ulama pun sepakat dalam keadaan tidak tahu arah kiblat atau melakukan shalat di perjalanan dalam arti di atas kendaraan yang bergerak, menghadap ke mana pun tidak masalah. Maka, hemat saya tidak menjadi persoalan besar apabila ada masjid -apalagi masjid kuno- yang meleset 1-2 derajat dalam menentukan arah kiblatnya. Bukankah ada tertulis firman ALLAH SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 115:
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, kemanapun kamu menghadap disitulah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar