Sebuah studi yang dilakukan oleh London School of Hygiene dan Tropical Medicine, PATH, Lembaga penelitian nasional, dan organisasi kewanitaan di beberapa negara menenmukan bahwa tindak kekerasan terhadap seorang wanita yang dilakukan oleh pasangannya dapat berakibat bagi kesehatan. Wanita yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan wanita yang tidak menjadi korban kekerasan. Hal ini termasuk keinginan dan perilaku bunuh diri, tekanan mental, dan gangguan fisik seperti pusing, nyeri, lemas dan gangguan fungsi vagina.
Bentuk tindak kekerasan ini mempengaruhi kesehatan reproduksi wanita, yaitu berperan dalam meningkatkan risiko IMS (Infeksi Menular Seksual), termasuk HIV. Hal itu tidak terlepas dari perilaku seksual para pasangaan mereka. Korban KDRT mengakui bahwa pasangan mereka memiliki mitra seksual lebih dari satu dan menolak untuk menggunakan alat kontrasepsi kondom. Fakta yang lebih mencengangkan adalah para korban tindak kekerasan
tersebut banyak yang menyatakan telah melakukan aborsi disengaja, bahkan banyak diantara mereka yang telah mengalami keguguran. Menurut Dr. Charlotte Watts, dari London School Kekerasan pada pasansgan memiliki kesamaan dampak pada kesehatan wanita dan status kesehatan dimanapun dia berada, prevalensi kekerasan pada kondisi dimana wanita tersebut berada atau latar belakang budaya dan ekonomi dimana dia berada. Dr. Watts menambahkan bahwa tingkat kerugian pada aspek kesehatan yang dialami wanita korban kekerasan rumah tangga pada studi WHO konsisten di beberapa negaraStudi lain mengenai KDRT yang dilakukan oleh WHO di 10 negara yaitu ; Bangladesh, Brazil, Ethiopia, Jepang,Namibia, Peru, Samoa, Serbia-Montenegro, Thailand, dan Tanzania menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan suami merupakan bentuk kekerasan yang paling sering terjadi pada kehidupan seorang wanita, bahkan lebih sering dibandingkan kekerasan atau perkosaan yang dilakukan oleh oleh orang asing maupun orang yang dikenal. Studi yang melibatkan lebih dari 24.000 wanita sebagai responden tersebut melaporkan adanya dampak besar dari kekerasan fisik dan seksual oleh suami dan pasangannya. Fenomena ini telah menimbulkan dampak pada status kesehatan wanita di seluruh dunia, bahkan jumlah pasangan yang melakukan kekerasan terhadap wanita lebih banyak lagi yang tersembunyi. Studi ini menunjukkan bahwa wanita lebih berisiko untuk mendapatkan kekerasan dirumah dibandingkan di jalan, dan ini berpengaruh secara tidak langsung terhadap kesehatan wanita.
Dengan melihat serangkaian fakta diatas, maka tidak berlebihan jika dikatakan KDRT merupakan bagian dari isu kesehatan masyarakat yang patut diperhatikan. Hal itu senada dengan pernyatan Direktur Jenderal WHO, Dr.LEE Jong-wook seperti yang dilansir situs resmi organisasi kesehatan dunia tersebut. Dr. LEE mengatakan bahwa studi tersebut juga menunjukkan betapa pentingnya untuk memperhatikan permasalahan KDRT dan menjadikannya sebagai masalah kesehatan masyarakat yang penting.. Studi tentang kesehatan wanita dan KDRT terhadap wanita merekomendasikan dan meminta langkah nyata dari pembuat kebijakan serta sektor kesehatan masyarakat untuk menambah anggaran kesehatan dan kemanusiaan, termasuk mengikutsertakan program pencegahan kekerasan dalam lingkup kegiatan sosial.
Meskipun kehamilan sering dianggap sebagai saat dimana wanita harus dilindungi, kebanyakan studimenunjukkan antara 4% – 12% wanita yang hamil melaporkan, bahwa mereka tetap mendapatkan perilaku kekerasan selama kehamilannya. Lebih dari 90% para wanita ini mendapatkan kekerasan dari pasangannya. Sekitar seperempat dari separuh jumlah wanita tersebut, mengatakan mendapatkan perilaku kekerasan fisik berupa tendangan dan pukulan di bagian perut.
Laporan hasil studi KDRT tersebut merekomendasikan program pencegahan kekerasan terpadu yang juga ditujukan bagi permasalahan seputar anak-anak, remaja, HIV AIDS, seksual dan kesehatan reproduksi. Penyedia pelayanan kesehatan harus dilatih untuk mengenali praktek KDRT dan menindaklanjutinya. Upaya ini dapat diawali dengan menerapkan pelayanan pra persalinan, KB dan pelayanan pasca aborsi. Sistem sosial yang ada harus mendukung upaya pencegahan KDRT, salah satunya lembaga pendidikan. Sekolah harus menjadi tempat yang aman, sistem dukungan bagi para korban harus diperkuat dan program pencegahan dilaksanakan pada tempatnya. KDRT dapat dicegah jika terjalin sinergi antara pemerintah, masyarakat dan LSM. Kasus KDRT yang terjadi selama ini juga merupakan fenomena gunung es. Sedikitnya 20% dari wanita yang melaporkan telah mendapatkan kekerasan fisik dalam studi tersebut, tidak pernah memberitahu orang lain sebelum mereka diwawancarai. Meskipun terdapat dampak pada kesehatan, hanya sedikit sekali wanita yang melaporkan dalam studi tersebut, telah berupaya untuk mendapatkan pertolongan, baik pada dokter, polisi maupun pihak berwenang lainnya. Mereka juga tidak berupaya untuk mencari pertolongan pada teman, tetangga maupun anggota keluarga. Bagi mereka yang telah mencari pertolongan, pada umumnya telah mengalami kekerasan yang sangat parah. Permasalahan ini merupakan tantangan terbesar bagi pengambil kebijakan untuk segera menindaklanjutinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar