Arsitektur Waktu
Sekitar 1470 SM di Karnak, orang-orang Mesir kuno telah mencoba menciptakan alat "penunjuk waktu" di kompleks kuil Dewa Matahari Amon Re. Alat penunjuk waktu ini dibuat berupa tiang batu runcing, yang disebut obelisk. Tiang batu semacam ini juga sering digunakan sebagai tugu peringatan oleh beberapa bangsa pada peradaban masa lalu. Obelisk yang dibangun di Kuil Dewa Matahari Amon Re di Mesir, terbuat dari batu setinggi 29 meter. Bila matahari bergerak dari timur ke barat, bayangan obelisk akan bergerak secara teratur dalam arah yang berlawanan dari barat ke timur, pada daerah bujurtelur di sekeliling obelisk. Tiga bayangan yang diperlihatkan, adalah pada saat matahari terbit, tengah hari dan pada saat matahari terbenam.
Karya arsitektur jam yang cukup rumit dari batu tetapi mengagumkan, ditemukan di Fez, Maroko (Afrika). Jam yang digerakkan tenaga air ini dalam wujud sangat besar ini dibangun pada 1357. Panjang bagian depan bangunan aneh ini 11,3 meter. Mesin jamnya yang telah lama hilang, diperkirakan memenuhi satu ruangan dan mendentangkan bunyi jam dengan gaung gong dan derak getaran daun pintu yang ramai. Cara kerja jam yang menyatu dengan karya arsitektur ini, mirip dengan prinsip kerja jam kepsidra Yunani yang menggunakan air. Klepsidra prinsipnya adalah mengucurkan air dari satu tempat air pasu gerabah ke tempat air pasu gerabah lainnya. Pengapung dengan angka di dalam pasu gerabah mengukur tinggi air, perubahan yang teratur ketinggian air mengukur selang waktunya.
Tetapi dalam jam air pada bangunan batu di Fez, menggunakan sebuah mesin yang melepaskan butir-butir batu dari cuatan kayu di bawah atap bangunannya. Setiap jam, sebutir batu jatuh di atas gong yang ada sekitar enam meter di bawahnya. Jika bunyi gongnya sudah tidak terdengar, mesin yang sama kemudian membuka satu di antara 12 pintu lengkung bangunan tersebut, yang letaknya menunjukkan jam saat itu. Pintu itu akan tetap terbuka sampai saat jam berbunyi selanjutnya.
Selain itu, karya arsitektur yang dilengkapi jam besar juga dapat disaksikan di Kota London, Inggris. Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Inggris di London yang sering disebut "New Palace of Westminster" juga merupakan salah satu karya arsitektur yang dilengkapi jam. Gedung ini dilengkapi menara-menara yang salah satunya berisi jam besar di bagian atas keempat sisinya. Menara jam setinggi 96 meter ini diberi nama "Big Ben" dan sudah menjadi tanda pengenal bagi Kota London. Gedung ini merupakan hasil dari sayembara yang dimenangkan oleh Sir Charles Barry (1795-1860). Dalam proses perancangannya, Barry dibantu oleh asistennya yang bernama AWN Pugin, yang sangat menguasai detail-detail arsitektur Gothik. Kaya ini menandakan masih adanya kerinduan pada karya arsitektur klasik.
Perjalanan Waktu
Jika orang membahas atau membuat karya arsitektur, maka ia akan berhubungan dengan masalah ruang -- di dalam dan di luar bangunannya. Tetapi jika mengkaji sejarah arsitektur dari satu periode ke periode lainnya secara diakronik, maka orang akan mengkajinya dalam waktu. Dan jika mengkaji sejarah arsitektur secara sinkronik, maka yang akan dibahas adalah mata rantai elemen-elemen secara simultan yang berkaitan dengan ruang.
Arsitektur piramid di Mesir merupakan salah satu contoh karya arsitektur yang telah mampu melewati ruang dan waktu perjalanan sejarah arsitektur, sejak zaman Mesir purba hingga kini. Piramid merupakan karya arsitektur dengan wujud sangat stabil dan dibuat dari bahan kayu yang dapat mewujudkan keabadian, dengan bentuk yang dapat menunjukkan keagungan. Piramid juga harus mampu menunjukkan keabadian, karena rakyat Mesir memiliki keyakinan akan adanya kehidupan setelah kematian, sehingga perlu dibangun karya arsitektur yang abadi untuk sang Raja yang dimakamkan di sana.
Adanya psikologi kesadaran akan masa lampau, masa kini dan masa depan, juga telah disadari masyarakat Hindu di Bali. Sehingga, masyarakat Hindu di Bali senantiasa memperhatikan aspek tri samaya -- tiga kesepakatan dalam waktu untuk mengambil suatu keputusan, khususnya dalam membuat karya arsitektur. Dalam arsitektur, masyarakat Hindu di Bali senantiasa melihat kondisi di masa lalu (atita), mempertimbangkan akan adanya masa depan (nagata), sehingga apa yang bisa diwujudkan pada masa kini (wartamana). Selain itu, juga dilengkapi dengan konsep yang berkaitan dengan kondisi tempat (desa), waktu (kala), serta situasi dan kondisi (patra). Pertimbangan ini sangat diperhatikan, agar wujud karya arsitektur yang dibangun bisa fungsional dan nyaman bagi pemiliknya.
Stabil dan Indah
Arsitektur berasal dari kata arche dan tektoon dalam bahasa Yunani. Arche berarti yang asli, yang utama atau yang awal, sedangkan tektoon berarti berdiri kokoh, tidak roboh dan stabil. Dalam hal ini, kata arsitektur mempunyai sudut pandang teknis statika bangunan.
Di India, arsitek disebut sthapati, achariya, atau sutradhara. Di Jawa, ilmu bangunan dalam bahasa Jawa kuna disebut wastuwidya. Dalam pengertian wastu atau vasthu (India), sudah termasuk juga di dalamnya masalah tata bumi (dhara), tata gedung (harsya), tata lalu-lintas (yana), sampai perabot rumah. Jadi dalam hal ini, kata wastu atau vasthu pengertiannya lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan kata architectonikos dalam bahasa Yunani, yang berarti seni bangunan. Alam konsepsional vasthu lebih menyeluruh yang kemudian bermuara pada sains zaman modern. Kalau masalah estetika yang dibahas, maka estetika saja. Kalau teknis yang dibahas, maka teknis murni saja. Sedangkan estetika dalam kerangka wastu, aspek estetis seluruh seni India melekat pada segi spiritualnya, tidak pada segi materinya.
Dalam masyarakat Hindu di Bali yang juga mewarisi unsur-unsur kebudayaan India, banyak aspek yang dipertimbangkan dalam karya arsitekturnya, seperti konsep wastu dalam masyarakat Jawa kuna. Karya arsitektur masyarakat Hindu di Bali merupakan total desain, yang secara teknis kokoh dan stabil, sekaligus indah. Aspek keindahannya melekat pada segi spiritualnya, sehingga mampu melampaui rentang ruang dan waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar