Sosis merupakan makanan asing yang sudah akrab dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena rasanya enak, Namun, di balik kenikmatan makanan yang kaya akan zat gizi ini, terkandung lemak dan kolesterol tinggi yang bisa mengganggu kesehatan. Untuk itu, hati-hati mengonsumsi sosis.
Makanan ini dibuat dari daging atau ikan yang telah dicincang kemudian dihaluskan, diberi bumbu, dimasukkan ke dalam selonsong berbentuk bulat panjang simetris, baik yang terbuat dari usus hewan maupun pembungkus buatan (casing). Sosis juga dikenal berdasarkan nama kota atau daerah yang memproduksi, seperti berliner (Berlin), braunscheiger (Braunshweig) , genoa salami (Genoa), dan lain-lain.
Sosis merupakan salah satu produk olahan daging yang sangat digemari masyarakat Indonesia sejak tahun 1980-an. Istilah sosis berasal dari bahasa Latin, yaitu salsus, yang artinya garam. Hal ini merujuk pada artian potongan atau hancuran daging yang diawetkan dengan penggaraman.
Nilai Gizi
Sosis merupakan produk polahan daging yang mempunyai nilai gizi tinggi. Komposisi gizi sosis berbeda-beda, tergantung pada jenis daging yang digunakan dan proses pengolahannya.
Produk olahan sosis kaya energi, dan dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat. Selain itu, sosis juga memiliki kandungan kolesterol dan sodium yang cukup tinggi, sehingga berpotensi menimbulkan penyakit jantung, stroke, dan hipertensi jika dikonsumsi berlebihan.
Ketentuan mutu sosis berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3820-1995) adalah: kadar air maksimal 67 persen, abu maksimal 3 persen, protein minimal 13 persen, lemak maksimal 25 persen, serta karbohidrat maksimal 8 persen. Kenyataannya, banyak sosis di pasaran yang memiliki komposisi gizi jauh di bawah standar yang telah ditetapkan. Hal tersebut menunjukkan pemakaian jumlah daging kurang atau penggunaan bahan tidak sesuai komposisi standar sosis.
BACA LABEL SEBELUM MENYANTAP
Seiring dengan berkembangnya industri pangan, saat ini telah dikembangkan sebuah inovasi baru, yaitu sosis siap makan tanpa perlu dimasak atau dipanaskan terlebih dahulu. Dengan demikian, sosis tersebut dapat dimakan sebagai snack.
Saat ini juga mulai banyak dijual sosis steril, yaitu sosis yang dibuat melalui proses sterilisasi sehingga awet untuk disimpan pada suhu kamar, selama beberapa waktu. Sosis tersebut tinggal dibuka dari kemasannya dan langsung dapat dimakan.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kandungan lemak sosis yang cukup tinggi. Konsumsi sosis sebagai snack hendaknya memperhatikan faktor-faktor kesehatan seperti obesitas dan kolesterol. Sosis dengan kadar lemak rendah dapat menjadi pilihan. Karena itu, sebaiknya membiasakan diri membaca label secara seksama sebelum memutuskan untuk membeli dan mengonsumsi sosis. ****
Bahaya Sosis, Nugget, Kornet
Pada awalnya, saya tidak tertarik membaca artikel ini. Salah seorang teman dekat menyarankan saya membacanya. Artikel yang sangat menarik, tentang industri makanan yang ternyata berasal dari limbah hewan. Mudah-mudahan artikel ini memberikan manfaat bagi Anda semua, menambah wawasan kita tentang apa yang sesungguhnya kita konsumsi atau beli di pasar swalayan.
Petaka Sodom dan Gomora
Oleh: F Rahardi
Flu burung (avian influenza, AI) tiba-tiba menjadi hantu yang sama menakutkan dengan AIDS. Inilah kutukan dari Sodom dan Gomora modern. Agroindustri unggas modern sebenarnya telah menentang alam, sekaligus menantang hukum Allah. Itulah yang harus diubah, bukan hanya sekadar restrukturisasi menyangkut pembagian kapling. Flu sebenarnya merupakan penyakit lama.
Ada tiga tipe virus influenza: tipe A yang bisa menyerang hewan maupun manusia dan tipe
B serta C yang hanya bisa menyerang manusia. Virus tipe A masih terdiri atas beberapa subtipe, yakni H (1-15) dan N (1-9). AI sendiri sudah terdeteksi sejak 1978 di Italia, tetapi AI subtipe baru dengan virus H5N1 pertama kali terdeteksi di Hongkong tahun 1997. Sejak itu, flu burung menjadi mirip AIDS, menimbulkan gejolak atas bisnis perunggasan, sekaligus mengancam hidup manusia.
Ketika AI menyerang unggas, virus ini belum menjadi wabah yang mendunia. Agroindustri perunggasan lalu menjadi massal dan mendunia, dengan benih (DOC/DOD), pakan, hormon pertumbuhan, antibiotik, dan obat-obatan dalam dosis tinggi secara intensif. Inilah pemicu utama terciptanya virus subtipe baru. Terlebih setelah agroindustri peternakan hanya mementingkan keuntungan, tanpa memikirkan dampak negatif yang ditimbulkan.
Wabah sapi gila di Inggris juga seperti kutukan. Virus penyakit gila ini sebenarnya hanya berjangkit pada domba, dan tidak pernah menjadi wabah. Namun, agroindustri peternakan di Inggris terlalu rakus. Limbah dari rumah potong hewan, terutama tulang-tulang- terdiri tulang domba, kambing, sapi, babi, dan ternak lain-digiling dan dicampurkan ke konsentrat. Tujuannya adalah efisiensi. Dampaknya, terjadi degradasi genetik dan penularan penyakit. Penyakit gila yang sebelumnya hanya menyerang domba berjangkit pula ke sapi.
"Nuggets" dan sosis tulang Pada agroindustri perunggasan, terutama ayam petelur, yang akan dipelihara hanyalah DOC betina. DOC jantan harus dibuang. Jika DOC jantan diberikan kepada ikan, dampak negatifnya hampir tidak ada. Namun sekali lagi demi efisiensi, DOC jantan langsung dimasukkan ke penggilingan dan dicampurkan ke pakan. "Kanibalisme" inilah antara lain yang telah mengakibatkan degradasi genetik, sekaligus ikut berperan memicu terciptanya virus AI subtipe baru.
Namun itu semua belum terlalu mengerikan. Kini, tampaknya konsumen kurang jeli melihat (atau tidak menduga) sosis (sapi dan ayam), nuggets (ayam), dan kornet (sapi), yang dikonsumsi, sebenarnya bukan berasal dari daging, tetapi limbah tulang-belulang. Limbah rumah pemotongan hewan dan rumah pemotongan ayam selalu menghasilkan limbah berupa tulang keras, tulang rawan, sumsum, urat, dan sedikit serat daging yang masih melekat di permukaan tulang. Tulang kerasnya dipisahkan disebut MBM atau meat and bone meal. Ini merupakan bahan campuran industri pakan ternak, termasuk unggas.
Tulang rawan, urat, sumsum, dan daging disebut meat and bone meal (MDM). Produk inilah yang semula menjadi bahan campuran industri sosis, kornet, dan nuggets. Kini, MDM menjadi bahan utama makanan pabrik itu. Terlebih dalam sosis ayam. Yang dimaksud MDM unggas sebenarnya semua limbah dr seekor ayam digiling, sebab sekeras apa pun tulang ayam masih amat lunak untuk menjadi sosis dan nuggets. Kita tidak pernah diberi tahu oleh Asosiasi Produsen Makanan Olahan Daging (National Association Meat Producer = NAMPA ), berapa persen sebenarnya kandungan MDM pada tiap sepotong sosis dan nuggets. Jangan-jangan sudah 100 persen bukan daging asli lagi?
Pola industri ternak seperti ini sebenarnya sudah melawan hukum alam, sekaligus hukum Allah sang pencipta. Sapi dan domba aslinya herbivora, pemakan tumbuhan. Dalam industri modern mereka dipaksa menjadi karnivora, bahkan kanibal, makan sisa-sisa hewan lain. Unggas makan biji-bijian dan kadang serangga serta cacing. Tetapi mereka tidak pernah kanibal. Bahkan elang dan gagak yang karnivora pun tidak pernah kanibal. Tetapi manusia telah memaksa ayam dan itik menjadi seekor kanibal. Bahkan DOC, anak ayam yang baru menetas pun, harus kembali digiling untuk dimakan oleh induk-induk mereka. Ini sudah lebih sadis dibanding kisah Sodom dan Gomora.
Limbah dari AS
Rakyat AS relatif cerdas dalam melihat "penyimpangan" atas hukum alam ini. Selain cerdas, mereka kaya. Itu sebabnya mereka tidak menyantap bagian lain dari ayam, kecuali daging dada. Kulit, daging paha, daging sayap, hati, ampela, tabu disantap. Apalagi kepala, leher, pantat, dan ceker. Semua itu harus dibuang. Lembaga konsumen AS juga ketat hingga limbah itu tidak bisa digiling begitu saja dan dijadikan pakan ternak lain. Kasus sapi gila di Inggris membuat rakyat AS lebih waspada.
Ke manakah limbah yang masih layak makan itu dibuang? Tentu ke negara yang penduduknya banyak negara berkembang dan ekonominya lemah. Sasaran utama membuang paha dan sayap ayam adalah RRC,India, dan Indonesia .
MDM hasil penggilingan limbah unggas juga dibuang ke negara berkembang dan negara miskin. Untuk sarana pembuangan, kota-kota besar di negara berkembang siap dengan restoran cepat saji(fast food) dan pasar swalayan. Saat memungut sosis ayam dan nuggets, ibu-ibu pasti tak pernah membayangkan, bahan utama produk itu bukan daging, tetapi limbah sisa-sisa hewan ternak dari negara maju.....
Sebenarnya pemerintah harus mulai memperkuat agroindustri perunggasan tradisional peternakan itik sebagai penyeimbang. Kelembagaan peternakan rakyat ini sebenarnya sudah amat kuat. Hanya alokasi modal dan fasilitas lain tidak pernah tertuju ke mereka, sebab mereka bukan pengusaha yang punya kapling dalam Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (Gappi). Jika para peternak itik yang sudah massal pun tak tersentuh perhatian pemerintah, ayam kampung lebih tak terperhatikan lagi. Rakyat memang harus tabah dalam menerima petaka Sodom dan Gomora modern berupa wabah flu burung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar